Mataram (Suara NTB) – Gubernur NTB, Dr. H. Zulkieflimansyah, S.E., M.Sc., resmi melakukan moratorium penebangan dan peredaran hasil hutan kayu di wilayah NTB. Hal tersebut sesuai Instruksi Gubernur Nomor : 188.4.5-75/Kum Tahun 2020 tanggal 18 Desember 2020 yang ditindaklanjuti Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) dengan surat Nomor 522/02/PH/DISLHK/2021 yang ditujukan ke Kepala Balai KPH/Tahura se – NTB.
Kepala Dinas LHK NTB, Ir. Madani Mukarom, B.Sc.F., M. Si., Sabtu, 30 Januari 2021, menjelaskan moratorium penebangan dan peredaran hasil hutan kayu tersebut dilakukan melihat situasi dan kondisi saat ini serta berdasarkan kajian dan pemantauan di lapangan. Tindak perusakan hutan semakin mengkhawatirkan.
Perladangan liar, kebakaran hutan serta tindak perusakan hutan akibat pembalakan liar. Menyebabkan ekosistem kawasan hutan dan sumber daya yang ada di dalamnya mengalami kerusakan yang cukup parah. Sehingga kondisi hutan di NTB berada pada taraf darurat illegal logging.
Sehingga perlu mengambil langkah segera guna mengatasi kondisi tersebut dengan menertibkan peredaran hasil hutan kayu. Dan memutus mata rantai peredaran kayu ilegal antar pulau. Serta memberikan jeda bagi pemulihan kerusakan ekosistem hutan dan sumber daya yang ada di dalamnya melalui upaya terintegrasi dari hulu sampai ke hilir.
Berdasarkan instruksi tersebut, kata Madani, gubernur memberikan instruksi kepada Kepala Dinas LHK NTB, Kepala Dinas Perhubungan NTB, Kepala Penyelenggara Pelabuhan se-NTB. Kemudian, Pimpinan Institusi Unsur Satuan Tugas Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (Satgas P3H) NTB, Kepala Badan Perencanaan Pembangunan, Penelitian dan Pengembangan Daerah (Bappeda) NTB dan Bupati/Walikota se-NTB.
Gubernur meminta Kepala Dinas LHK NTB harus menghentikan sementara seluruh kegiatan penebangan oleh pemegang izin pemanfaatan hasil hutan kayu baik di kawasan hutan maupun di luar kawasan hutaan. Kemudian menghentikan sementara seluruh kegiatan penebangan, perladangan dan pembukaan lahan oleh masyarakat di luar kawasan hutan.
Selanjutnya, menghentikan sementara pemberian izin baru pemanfaatan hasil hutan kayu di kawasan hutan maupun di luar kawasan hutan. Selain itu, meningkatkan operasi pengamanan di kawasan hutan melalui kegiatan patroli dan penjagaan secara ketat terutama di titik-titik rawan.
Serta, mengkoordinasikan penyelenggaraan penghentian sementara penebangan dan peredaran hasil hutan kayu. Dan melaporkan hasil pelaksanaan moratorium kepada Gubemur setiap tiga bulan.
Laporan tersebut meliputi, pengangkutan kayu keluar melalui Pelabuhan, jumlah kasus penebangan kayu, jumlah kasus peredaan kayu dan penegakan hukum terhadap kasus tindak pidana kehutanan.
Kepada Kepala Dinas Perhubungan dan Kepala Penyelenggara Pelabuhan, Gubernur meminta agar menghentikan untuk sementara seluruh kegiatan pengangkutan kayu keluar dari pelabuhan di wilayah Provinsi NTB selama jangka waktu yang telah ditentukan Satuan Tugas Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.
Kemudian, Satgas Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan dan Kepala Kepala Penyelenggara Pelabuhan diminta menghentikan sementara pengangkutan kayu dari Pelabuhan di Pulau Lombok dan Pulau Sumbawa serta di pulau sekitarnya yang dilaksanalkan oleh Satgas P3H bersama Penyelenggara pelabuhan setempat. Kemudian, pengangkutan hasil hutan kayu yang telah memiliki dokumen sah dan merupakan hasil produksi/hasil penebangan sebelum berlakunya instruksi ini dapat diedarkan di pulau asal kayu tersebut.
Pengangikutan kayu dengan dokumen angkut yang tidak memenuhi persyaratan harus diproses sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Selain itu, pengawasan dan pemantauan dilaksanakan secara intensif di Pelabuhan dan simpul-simpul peredaran serta lokasi yang dipandang strategis.
Untuk Kepala Bappeda, Gubernur meminta agar mengalokasikan anggaran untuk kegiatan operasional dan penyediaan sarana prasarana guna mendukung Moratorium Penebangan dan Peredaran Hasil Hutan Kayu melalui APBD Provinsi NTB pada Dinas LHK dan sumber-sumber lain yang sah dan tidak mengikat.
Sedangkan, Bupati/Walikota se – NTB, serta Kepala Dinas LHK agar mengidentifikasi dan memetakan areal-areal serta peladangan liar atau pembukaan lahan secara sporadis. Mengingat areal tersebut merupakan daerah tangkapan air dan memiliki peranan penting untuk menyangga kawasan di sekitarnya.
Madani mengatakan instruksi gubernur tersebut berlaku selama jangka waktu satu tahun terhitung sejak tanggal ditetapkan. Sehubungan dengan Instruksi Gubernur tersebut, Madani telah meminta Kepala Balai KPH/Tahura se – NTB untuk eningkatkan pengamanan dan memperketat penjagaan di kawasan hutan. Dengan memblokir seluruh akses jalur yang disinyalir digunakan oleh pelaku pembalakan perambahan liar.
Kemudian memantau dan memastikan tidak ada kegiatan penebangan oleh pemegang izin hak kelola dari kegiatan penggunaan maupun pemanfaatan hutan. Selain itu, tidak melakukan verifikasi maupun mengeluarkan rekomendasi untuk tegakan di luar kawasan hutan.
“Bersama anggota Satgas P3H untuk terus memantau peredaran hasil hutan kayu di pelabuhan dan di simpul-simpul peredaran, serta mengambil tindakan sesuai ketemtuan bilamana diperlukan,” katanya.
Balai KPH dan Tahura se – NTB juga diminya terus melakukan sosialisasi dengan pendekatan persuasif kepada masyarakat setempat. Serta melakukan koordinasi secara aktif dengan pemerintah kabupaten dan pihak pemangku setempat.
Dinas LHK NTB mencatat, luas kawasan hutan yang kritis sampai 2019 sebanyak 280.941 hektare. Angka ini meningkat dibandingkan 2013 yang mencapai 141.376 hektare. Sedangkan lahan kritis yang berada di luar kawasan hutan seluas 577.650 hektare. Lahan di luar kawasan hutan yang kritis meningkat dibandingkan 2013 lalu yang mencapai 437.270 hektare.
Penyebab meluasnya lahan kritis di dalam kawasan hutan. Antara lain, perambahan atau perladangan liar untuk tanaman semusim seperti padi, jagung, pisang dan lainnya. Kemudian, pembalakan liar atau illegal logging, pendudukan atau penguasaan kawasan hutan, kebakaran dan penggembalaan liar serta keterbatasan tenaga pengaman hutan, saat ini rasionya satu petugas mengamankan 1.600 hektare hutan.
Sedangkan penyebab lahan kritis di luar kawasan hutan, seperti konversi kebun menjadi ladang terbuka. Kemudian pembukaan lahan dengan pembakaran, perubahan tradisi pola tanam tumpangsari menjadi monokultur.
Selain itu, penyempitan dan pendangkalan sungai karena sedimentasi dan sampah. Serta, keterbatasan penyuluh, saat ini rasionya satu penyuluh berbanding 5 desa. (nas)